Rakyat Menjerit, Keuangan Disandera Pejabat Daerah

Artikel, Berita132 Dilihat

SURABAYA, Tetan.News – Tradisi itu terselubung puluhan tahun, uang negara didiamkan di bank kemudian pejabat daerah menikmati bunganya. Ini bukan korupsi tapi kejahatan fiskal yang sangat biadab.

Bangsa yang kehilangan harapan mudah terpecah, mudah diprovokasi, dan sulit bangkit kembali.

Akhir-akhir ini, banyak orang mengeluh, harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja seret, dan usaha kecil makin susah bertahan. Di sisi lain, pemerintah menyebut keuangan negara dalam kondisi baik. Pertanyaannya, kalau keuangan negara baik, kenapa hidup rakyat begitu seret?

Ternyata, sebagian besar uang itu tidak benar-benar beredar di masyarakat. Banyak pemerintah daerah yang menyimpan dana dari pusat di rekening bank selama berbulan-bulan, bahkan hingga tahun anggaran hampir berakhir. Alasannya beragam, tapi motif sebenarnya sering kali demi mengejar bunga deposito.

Artinya, uang yang seharusnya dipakai untuk memperbaiki jalan, membantu petani, atau membangun sekolah, justru mengendap tanpa manfaat. Bunganya pun tidak masuk ke kas negara, melainkan “dinikmati” oleh oknum yang mengelola rekening itu.

Akibatnya, uang tidak berputar, ekonomi rakyat macet,  dan kehidupan masyarakat kecil makin berat.
‎Negara terlihat kaya di atas kertas, tapi kenyataannya rakyat tetap kesulitan.

Pemerintah sering berbicara tentang kemajuan ekonomi, investasi besar, dan proyek strategis nasional. Namun, bagi rakyat di pasar dan kampung, semua itu terasa jauh. Harga beras naik, tarif listrik menekan, dan pajak makin banyak.

Program bantuan sosial memang ada, tetapi sering kali tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat.
‎Situasi ini membuat banyak orang kehilangan kepercayaan.

Mereka merasa negara hanya berpihak pada pengusaha besar dan pejabat, bukan rakyat kecil yang membayar pajak setiap hari lewat pertambahan nilai barang-barang konsumtif.

Tidak heran jika gelombang protes dan kemarahan sosial mulai muncul di berbagai daerah. Orang-orang sudah lelah melihat gaya hidup mewah sebagian pejabat yang gemar pamer pesta besar, mobil mahal, liburan ke luar negeri. Sementara rakyat harus jeli mencari beras murah.

Pergantian Menteri Keuangan

Mundurnya Sri Mulyani Indrawati dan masuknya Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menteri Keuangan baru menandai perubahan penting.

Sri Mulyani dikenal disiplin dan berhati-hati mengatur uang negara. Ia menjaga agar angka keuangan tampak stabil, tapi banyak rakyat menilai kebijakannya terlalu “dingin”, terlalu fokus pada investor asing dan lupa pada rakyat bawah.

Sementara itu, Purbaya datang dengan gaya lebih berani dan vokal. Ia bicara soal melawan perampokan sumber daya alam dan mafia ekonomi.

Hanya saja rakyat belum tentu langsung percaya. Mereka sudah sering mendengar janji seperti itu di masa lalu, tapi hasilnya tetap sama, banyak rakyat tetap miskin dan segelintir orang kaya raya.

Harapan kini tergantung pada seberapa berani pemerintah menindak para penimbun dana publik, dan membuka seluruh data keuangan daerah secara transparan.

‎Korupsi Gaya Baru:
‎Bukan Suap, Tapi Sistem

Dulu, korupsi sering dibayangkan sebagai amplop tebal di bawah meja.
‎Sekarang bentuknya lebih canggih, uang tidak dicuri secara langsung, tapi dibiarkan mengendap di bank agar bunganya bisa dinikmati kelompok tertentu. Itulah korupsi gaya baru lebih halus, tapi merugikan rakyat jauh lebih besar.

Selain itu, kebijakan pajak juga terasa tidak adil. Pedagang kecil dan pekerja harian harus patuh membayar pajak, sementara orang kaya bisa dengan mudah menghindar. Bahkan yang disebut “wakil rakyat” malah bebas pajak.

Rakyat kecil tidak punya pilihan, karena sistem menekan mereka dari berbagai sisi. Harga naik, pajak naik, dan bantuan sering terlambat datang.

Pelajaran Krisis 1998

Kita masih ingat krisis tahun 1998, ketika harga melambung tinggi dan rakyat turun ke jalan. Penyebabnya bukan hanya uang, tapi hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah yang tidak adil.

Kini, tanda-tanda serupa mulai terasa. Bedanya, kali ini bukan karena utang luar negeri, tapi karena uang negara tidak dipakai untuk rakyat.

Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berbahaya. Rakyat yang lapar dan marah bukan hanya kehilangan kesabaran, tapi juga kehilangan harapan.

‎Dan bangsa yang kehilangan harapan mudah terpecah, mudah diprovokasi, dan sulit bangkit kembali.

Agar kepercayaan rakyat pulih dan ekonomi benar-benar hidup kembali, ada beberapa langkah sederhana tapi penting:

Buka Data Keuangan Daerah Secara Terbuka. Rakyat berhak tahu berapa banyak uang daerah yang mengendap di bank, dan digunakan untuk apa.

‎Larangan Menyimpan Dana Publik Terlalu Lama. Setiap dana pembangunan yang tidak digunakan dalam waktu tertentu harus segera dialihkan ke program padat karya atau bantuan sosial.

‎Reformasi Pajak yang Lebih Adil. Jangan bebankan pajak berlebihan kepada rakyat kecil. Kelompok kaya dan pemilik modal besar harus membayar pajak lebih besar sesuai kemampuannya.

Audit Independen dan Transparan. KPK, BPK, dan lembaga publik harus bekerja sama memeriksa rekening kas daerah. Hasilnya harus diumumkan kepada masyarakat.

Pendidikan Moral dan Keuangan Publik. Pejabat negara perlu diingatkan bahwa uang negara bukan milik pribadi, melainkan titipan rakyat yang harus digunakan sebaik-baiknya.

Kita semua ingin Indonesia maju, adil, dan sejahtera. Namun cita-cita “Indonesia Emas” tidak akan tercapai jika rakyatnya lapar, pejabatnya rakus, dan uang negara hanya menjadi angka di layar komputer bank.

Sesungguhnya, negara bukan diukur dari seberapa besar APBN-nya, tapi seberapa bahagia rakyatnya.

‎Esai:
Rokimdakas
‎Penulis Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *