Mengembalikan Marwah POLRI: Dari Kekuasaan ke Pelayanan

SURABAYA, tretan.news – Kekuatan sejati kepolisian terletak pada kepercayaan rakyat. Rasa simpati dan penghormatan masyarakat hanya akan lahir apabila polisi mampu mencerminkan diri sebagai penjaga kehidupan, melayani masyarakat dengan tulus, dan bertindak ikhlas tanpa pamrih.

Polri adalah profesi yang terhormat. Namun, ketika kepercayaan rakyat luntur akibat ulah segelintir oknum, maka keberadaan institusi ini ibarat telur di ujung tanduk, mudah goyah dan rawan retak.

Polisi sejatinya harus memanusiakan manusia, baik dalam penangkapan maupun pelayanan publik, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Profesionalisme seorang polisi tidak hanya diukur dari kemampuan teknis, tetapi juga dari integritas, kejujuran, dan moralitas.

Hidup bermewah-mewahan atau bersikap hedonistik justru akan memantik amarah rakyat yang kini semakin cerdas dan kritis terhadap kinerja aparat penegak hukum.

Tugas polisi sesungguhnya sederhana namun mulia: to serve and to protect melayani dan melindungi. Polisi ada karena negara ada, dan negara berdiri karena rakyat mempercayainya.

Gaji polisi berasal dari uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak, sehingga sudah semestinya polisi menjaga dan melindungi rakyat, bukan justru memeras rakyat dengan dalih penegakan hukum.

Rakyat tidak boleh dijadikan “sapi perahan”. Tidak jarang ditemukan perilaku oknum yang menyimpang, memperjualbelikan pasal dan undang-undang.

Misalnya, dalam kasus penangkapan pelaku yang dituduh terlibat judi online (JUDOL) setelah diminta uang tebusan puluhan juta rupiah, pelaku dilepaskan begitu saja. Fenomena ini ibarat gunung es yang harus segera ditindaklanjuti oleh pimpinan Polri.

Polri harus memiliki empati dan kepedulian nyata terhadap masyarakat, bukan sekadar lips service. Tugas Polri bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga mengangkat harkat martabat manusia, mendidik, menyadarkan, menolong, serta memberikan pengayoman terbaik dengan keikhlasan.

Sayangnya, di lapangan masih ditemukan laporan masyarakat yang mengaku diintimidasi ketika ingin mencabut laporan dan berdamai. Padahal, keadilan sejati tak selalu harus ditemukan di ruang pengadilan.

Di sinilah pentingnya kepekaan sosial dan moral dalam tubuh Polri. Edukasi bukan sekadar mengajarkan, melainkan juga menyadarkan.

Penegakan hukum yang berkeadilan harus mampu mengikuti perkembangan zaman dan menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin beradab.

Reformasi dan transformasi Polri tidak bisa dimulai dari bawah, melainkan harus berangkat dari pimpinan tertinggi dari para jenderal sebagai perumus kebijakan dan pengambil keputusan.

Mereka harus mampu membangun sistem yang transparan, inovatif, dan dinamis, serta memastikan setiap bentuk kewenangan diawasi secara ketat agar tidak melahirkan penyalahgunaan kekuasaan, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Perilaku oknum yang tidak bermoral hanya akan merusak citra Polri dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.

Ancaman hukum, pemerasan, hingga penyalahgunaan pasal, akan menjauhkan Polri dari rakyat yang seharusnya mereka layani. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa tindakan tegas, kepercayaan publik akan terus menurun.

Jujur harus diakui, jika dilakukan jajak pendapat secara netral kepada seribu masyarakat, berapa persen yang masih menaruh kepercayaan kepada Polri? Ketika komitmen moral mulai tergerus, ketika KUHAP dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara atau Kurang Uang Harus Penjara, maka di situlah makna penegakan hukum telah kehilangan ruhnya.

Etika publik dan norma moral harus menjadi tindakan nyata. Hormati UUD 1945, jalankan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), dan tegakkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai landasan penegakan hukum yang beradab.

Kini saatnya Polri kembali kepada Rastra Sewakottama abdi utama bangsa dan negara. Terapkan nilai-nilai Tribrata, berbenah menuju Polri yang humanis, melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat dengan keadilan serta martabat.

Reformasi Polri sejati adalah ketika kekuatan polisi berasal dari kepercayaan rakyat, bukan dari kekuasaan. Karena pada akhirnya, rakyatlah sumber legitimasi tertinggi penegakan hukum di negeri ini.

Oleh: Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H. – Direktur Lembaga Bantuan Hukum Rastra Justitia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *