Dualisme Kepemimpinan, Siapa Diuntungkan dan yang Dirugikan

SURABAYA, tretan.news – Sejumlah aktivis dan pemerhati sosial politik menggelar diskusi publik membahas fenomena konflik kepemimpinan di tingkat nasional dan dampaknya terhadap stabilitas demokrasi, Jumat malam (17/10/2025).

Diskusi yang berlangsung di salah satu kafe di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, menyoroti siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam dinamika politik kontemporer.

Pengamat politik sekaligus Dewan Pendiri Jaringan Warga Peduli Sosial (Jawapes) Indonesia, Rizal Diansyah Soesanto ST CPLA, menilai konflik kepemimpinan bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan cerminan dari lemahnya konsolidasi demokrasi dan hilangnya orientasi terhadap kepentingan rakyat.

“Dualisme kepemimpinan bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi soal arah perjuangan untuk rakyat. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa memecah kepercayaan publik terhadap lembaga negara,” ujar Rizal dalam diskusi tersebut.

Menurut Rizal, konflik elite politik berpotensi menghambat kebijakan publik, menurunkan efektivitas pemerintahan, dan memperlebar jarak antara pemerintah dengan masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, pihak yang paling dirugikan adalah rakyat kecil yang menunggu kepastian arah pembangunan.

Aktivis pergerakan nasional, Eko Prianto, yang dikenal dengan nama Eko Gagak, memandang bahwa fenomena konflik kepemimpinan justru membuka ruang bagi kelompok tertentu untuk mengambil keuntungan.

“Setiap kali muncul dua kepemimpinan, ada pihak yang memanfaatkan situasi. Mereka bermain di balik layar, mengatur opini publik, dan mencari keuntungan ekonomi serta politik dari kekacauan yang ada,” kata Eko.

Ia menilai, konflik seperti ini menciptakan kebingungan di tengah masyarakat karena dua figur kepemimpinan sering kali mengeluarkan klaim legitimasi yang berbeda, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan.

Dalam forum tersebut, peserta diskusi sepakat bahwa penyelesaian konflik kepemimpinan harus ditempuh dengan mengedepankan etika politik, konstitusi, dan tanggung jawab moral.

Rizal menegaskan, pemimpin sejati adalah mereka yang mengutamakan prinsip kenegaraan di atas ambisi pribadi.

“Langkah terbaik untuk keluar dari situasi seperti ini adalah kembali pada nilai konstitusi dan moral politik. Kepemimpinan sejati lahir dari nurani, bukan dari nafsu kekuasaan,” tegas Rizal.

Para peserta diskusi menutup perbincangan dengan satu kesimpulan: menjaga keutuhan bangsa adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.

Ketika para pemimpin terseret konflik, rakyat harus tetap menjadi pusat perhatian agar Indonesia tidak kehilangan arah di tengah dinamika politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *