Banjarbaru, tretan.news – Seorang nelayan melaporkan anggota Kepolisian Resor Kotabaru ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Kalimantan Selatan dengan tuduhan pelanggaran prosedur dan dugaan penculikan.
Laporan ini bermula dari peristiwa penangkapan yang terjadi di Pengadilan Negeri Kotabaru pada 22 September 2021.
Arsyad bin Baharudin (40), nelayan asal Kabupaten Kotabaru, ditangkap aparat kepolisian sesaat setelah memberikan kesaksian dalam sidang pidana yang melibatkan kakaknya, Junaide. Video penangkapan tersebut sempat viral di media sosial dan menjadi sorotan publik.
Menurut kesaksian Arsyad, ia disergap oleh IPDA Kity Tokan bersama sekitar lima anggota polisi lainnya usai memberikan keterangan di pengadilan sekitar pukul 13.40 WITA.
“Saya diseret, diborgol, dan dipaksa masuk ke mobil Daihatsu Xenia. Saya dilempar ke bagasi dalam posisi tertunduk. Saya melihat pengacara saya berjuang untuk membebaskan saya, bahkan sempat ditodong pistol,” ujar Arsyad.
Ia menambahkan, di tengah perjalanan menuju Polres, borgolnya dilepas dan ia diminta berfoto sambil mengangkat tangan.
“Saya trauma sampai sekarang. Saya mau keadilan,” ucapnya.
Pada Senin, 6 Oktober 2025, tim kuasa hukum Arsyad dari Kantor Advokat Badrul Ain Sanusi Al-Afif, S.H., M.H. & Rekan resmi melaporkan IPDA Kity Tokan, yang kini menjabat Kapolsek Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu, ke Propam Polda Kalsel.
Laporan teregister dengan Nomor SPSP2/X/2025/SUBBAGYANDUAN dan ditandatangani oleh Bripka Akta Wiraguna, Ps. Pamin 2 Subbagyanduan Bidpropam Polda Kalsel.
Kuasa hukum Arsyad, M. Hafidz Halim, S.H., menjelaskan bahwa insiden terjadi sesaat setelah kliennya memberikan kesaksian yang meringankan (a de charge) untuk terdakwa Junaide.
“Tim yang dipimpin IPDA Kity Tokan langsung menyergap Arsyad di ruang tamu pengadilan tanpa peringatan. Ini mencederai marwah peradilan,” kata Halim.
Rekan Halim, Dedi Ramdany, S.H., menyebut IPDA Kity Tokan tidak menunjukkan surat penangkapan atau surat Daftar Pencarian Orang (DPO) saat melakukan penangkapan.
“Mereka hanya membawa map merah dan menolak memperlihatkan isinya,” ujar Dedi.
Arsyad dituduh terlibat dalam kasus pencurian kelapa sawit pada 3 Mei 2021, berdasarkan laporan polisi lama. Namun setelah diperiksa semalaman tanpa bukti kuat, ia dibebaskan keesokan harinya.
Sementara itu, kakaknya, Junaide, yang dituduh mencuri buah kelapa sawit milik PT Paripurna Swakarsa (PSA) di Desa Senipah, Kecamatan Pamukan Utara, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kotabaru karena tidak terbukti bersalah.
“Junaide bebas murni karena tidak terbukti mencuri buah sawit sebagaimana putusan hakim. Sedangkan Arsyad dilepas demi hukum karena Kity Tokan gagal membuktikan tuduhannya setelah gelar perkara,” tegas Halim.
Dedi mengatakan kliennya mengalami trauma berat dan kehilangan harga diri akibat peristiwa tersebut.
“Sampai kini ia sulit mencari pekerjaan karena takut bertemu polisi. Meski bebas, dampak psikologisnya sangat besar,” tutur Dedi.
Ia menambahkan, “Oknum seperti ini ibarat duri dalam daging. Kalau tidak dicabut, institusi bisa infeksi. Demi perbaikan Polri, yang bersangkutan sebaiknya dipecat, ditangkap, dan diadili.”
Dalam pengaduannya, pihak Arsyad menilai tindakan para anggota polisi tersebut melanggar sejumlah pasal KUHP, antara lain Pasal 310 tentang pencemaran nama baik, Pasal 311 tentang fitnah, serta Pasal 328 dan 333 tentang perampasan kemerdekaan dan penculikan.
Selain itu, mereka juga menuding adanya pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dan prinsip humanisme dalam penegakan hukum.
Tim kuasa hukum juga melayangkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kapolda Kalsel yang diteruskan kepada Presiden RI, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ketua Komisi Hukum DPR RI, Kapolri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hingga berita ini diturunkan, Polda Kalimantan Selatan belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut. Namun, sumber internal menyebut Propam akan segera turun ke Polres Kotabaru untuk memeriksa pihak-pihak yang terlibat.
Kasus ini memicu sorotan publik terhadap praktik penegakan hukum di daerah. Banyak pihak menilai penangkapan terhadap saksi di pengadilan merupakan alarm serius atas lemahnya pengawasan prosedur dan perlindungan terhadap warga negara.