JAKARTA, TRETAN.news – Apa Prabowo tidak malu melihat rakyat menjarah hanya untuk membeli beras? Pertanyaan ini menyayat nurani: bagaimana mungkin di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, rakyat harus menempuh jalan kriminal demi sesuap nasi?
Padahal rakyat pernah menaruh harapan besar pada Prabowo. Ia mewarisi fondasi yang sudah disiapkan pendahulunya: jalan tol membentang, tambang strategis kembali ke pangkuan bangsa, hutang lama sebagian terbayar. Tugasnya tinggal melanjutkan.
Namun apa yang terjadi? Kepercayaan publik yang pernah 82 persen kini jatuh bebas. Bukan survei yang bicara, melainkan wajah rakyat di jalan-jalan: berbaris, berteriak, berdemo.
Pajak, Pajak, Pajak
Alih-alih menghadirkan sejahtera, pemerintah malah menambah beban rakyat dengan pajak yang digenjot tanpa ampun. Mulai dari konsumsi sehari-hari, transaksi kecil, bahkan wacana pajak atas harta simpanan. Seolah rakyat yang sudah terseok justru dijadikan mesin ATM negara.
Padahal pemerintah terus memamerkan laporan sukses hilirisasi tambang, termasuk berdirinya smelter terbesar di dunia di Gresik. Kata para ahli, dari nikel saja, tiap warga negara bisa mendapat bagian Rp 20 juta per bulan tanpa perlu bekerja. Lantas ke mana hasilnya? Menguap di udara? Tersangkut di kantong pejabat?
Andai hasil itu sampai ke rakyat, listrik, air, pulsa, bahkan sembako bisa gratis. Itu baru namanya demokrasi. Sebab ukuran demokrasi bukan sekadar kebebasan berbicara, tapi terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara.
Namun rakyat dipaksa menonton ironi. Saat rakyat mengeluh sulit makan, DPR justru sibuk menghitung tunjangan. Mari tengok daftar pendapatan mereka: gaji pokok jutaan, tunjangan komunikasi belasan juta, uang sidang, uang representasi, dana aspirasi ratusan juta, kunker miliaran. Itu pun belum semua, karena masih ada “bonus” ala Krisdayanti.
Pertanyaan sederhana, dengan fasilitas sebesar itu, apa output mereka? Undang-undang tambal sulam? Rapat molor berjam-jam? Atau sekadar berlari maraton di Sidney atas nama rakyat.
Tidak heran banyak yang menyebut DPR, MPR, dan DPD sekadar piaraan setan berjubah malaikat. Mereka hidup nyaman di atas penderitaan rakyat, miskin empati, miskin karya, miskin integritas.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, Prabowo gagal menangkap aspirasi rakyat. Pidatonya terdengar seperti lomba cerdas cermat, bukan suara pemimpin bangsa. Alih-alih menyelesaikan akar masalah, beliau malah bersembunyi di balik teks sambil membiarkan aparat menindas demonstran dengan gas air mata dan water canon.
Ini bukan sekadar kegagalan komunikasi, melainkan kemunduran demokrasi. Sebab demokrasi bukan hanya soal memberi izin demo, tetapi memastikan aspirasi benar-benar didengar dan ditindaklanjuti.
Saatnya Instal Ulang
Negeri ini ibarat ponsel yang terlalu banyak diisi aplikasi sampah. Teramat banyak aplikasi yang merusak kinerja elemen kemasyarakatan. Ada virus KKN, ada iklan janji politik, ada malware tunjangan pejabat. Kinerjanya pun lemot, boros kuota, dan baterai rakyat terkuras. Jalan keluarnya hanya satu: instal ulang ke setelan pabrik.
Setelan pabrik artinya kembali ke tujuan asli: negara hadir untuk rakyat, bukan untuk partai atau elit. Caranya jelas:
Transparansi Total. Semua biaya DPR, pajak mineral, hingga anggaran proyek diumumkan rutin ke publik. Bukan disembunyikan di laci gelap.
Pangkas Tunjangan Pejabat. Gaji berbasis kinerja, bukan jabatan. Malas kerja? Gaji dipotong. Korupsi? Pecat, bukan sekadar nonaktif.
Hilirisasi untuk Rakyat. Hasil tambang dan SDA harus diterjemahkan menjadi listrik murah, BBM terjangkau, pangan stabil. Bukan hanya angka indah di presentasi.
Reformasi Aparat. Polisi harus berhenti menjadi tukang pukul penguasa. Mereka digaji untuk melindungi rakyat, bukan kursi elite.
Dialog Langsung. Presiden harus berani berdialog terbuka dengan rakyat, bukan hanya berpidato. Transparansi butuh keberanian, bukan retorika.
Kembalikan Martabat Bangsa
Indonesia tidak butuh pidato bombastis atau baliho dengan wajah pemimpin tersenyum. Indonesia butuh harga beras yang stabil, listrik yang terjangkau, dan rasa aman saat rakyat menyuarakan pendapat. Indonesia butuh keberanian politik, bukan sekadar pencitraan.
Jika setelan pabrik ini tidak segera dipulihkan, jangan salahkan rakyat bila akhirnya menekan tombol factory reset dengan cara mereka sendiri. Sejarah sudah membuktikan: ketika rakyat lapar dan marah, tak ada kekuasaan yang cukup kuat untuk bertahan.
Sebelum nasi jadi gosong, tidak ada pilihan lain, beranikan kembali ke tujuan awal pendirian negara: menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rokimdakas
Penulis Surabaya
4 September 2025







