PATI, tretan.news – Pati tidak lagi sekadar sebuah kota, ia menjelma menjadi medan tempur kesadaran. Ribuan orang mengalir dari desa-desa, mengisi alun-alun bak gelombang pasang yang menuntut satu hal: penguasa yang arogan harus turun. Di tengah terik matahari, suara rakyat bagai genderang perang yang lantang, “Lengserkan Sudewo!” Rabu Pagi, 13 Agustus 2025
Bupati Pati, Sudewo, telah memposisikan dirinya sebagai simbol kesombongan kekuasaan. Ia bukan sekadar membuat kebijakan keliru, dia menantang rakyatnya sendiri.
Menaikkan PBB hingga 250 persen, memukul pendidikan agama dengan kebijakan lima hari sekolah, memecat pegawai tanpa pesangon, membubarkan posko donasi rakyat. Puncaknya, menantang warganya sendiri untuk mengerahkan massa besar-besaran.
Rakyat menjawab tantangan itu. Tidak dengan bisik-bisik di warung kopi tapi dengan lautan manusia, tumpukan logistik yang menggunung dan solidaritas yang menembus batas wilayah.
Setiap penguasa dzolim lupa satu hal, rakyat bisa sabar, tapi sabar ada batasnya. Ketika kesabaran habis, yang tersisa adalah kemarahan kolektif.
Sudewo mungkin berpikir rakyat Pati akan diam ketika kebijakannya mencederai kehidupan mereka. Ia salah besar. Dari Boyolali, Salatiga, Semarang, bahkan Jakarta, massa berdatangan.
Aktivis seperti M. Sholeh dari Sidoarjo pun hadir, mengakui bahwa pola perlawanan Pati bisa menjadi cetak biru melawan gubernur hingga presiden yang dzolim.
Sumbangan datang mengalir seperti arus sungai di musim hujan. Air mineral, pisang, semangka, uang tunai, semua dikerahkan. Seperti masa revolusi kemerdekaan, rakyat pedesaan kembali menjadi tulang punggung perjuangan.
PELAJARAN SEJARAH
Sejarah dunia mengajarkan, penguasa arogan selalu kalah di hadapan rakyat yang bersatu.
Islandia 2008 – Kitchenware Revolution, rakyat memukul panci di depan parlemen, memaksa pemerintah mundur. Tahun 2011 di Tunisia, Rezim Ben Ali runtuh setelah protes massal melawan korupsi dan arogansi. Tahun
2016–2017 di Korea Selatan, Candlelight Protests dengan jutaan lilin, menggulingkan Presiden Park Geun-hye.
Semua punya benang merah yang sama, kesewenang-wenangan, kesombongan, lalu kejatuhan.
Pati adalah lentera perlawanan. Gerakan Pati adalah pesan keras bagi para pejabat di seluruh negeri ini. Rakyat bukan pion di papan catur politik. Mereka bisa sabar, tapi sekali bergerak, tidak ada pagar kawat berduri atau ribuan aparat yang mampu menahan gelombang kemarahannya..
Hari ini Pati menyalakan lentera perlawanan. Esok, nyala itu bisa menyala di kota-kota lain, di provinsi lain, bahkan di istana pusat kekuasaan.
Karena kekuasaan hanyalah titipan, dan rakyat adalah pemilik sejati negeri ini. Dan ketika rakyat berkata “Cukup!”, sejarah akan berpihak pada mereka yang berani melawan.
Oleh:
Rokimdakas
Penulis Kecil
Rabu 130825