Pencerahan Hukum !! Terkait Upah Karyawan

Penulis : H. Syaiful

Artikel, Berita, Hukum337 Dilihat

GRESIK, tretan.news – Sebelum memotong upah karyawan, perusahaan wajib membuktikan adanya kerugian yang nyata, disertai bukti kuat, serta mendapatkan persetujuan tertulis dari karyawan. Tanpa itu, pemotongan upah bisa berujung masalah hukum.

Hal ini terbukti dalam kasus gugatan Muhammad Miftah Faridl terhadap PT Trans News Corpora (Kantor CNN Indonesia Biro Kota Surabaya). Faridl menggugat karena mengalami pemotongan upah tanpa persetujuan, terhitung sejak Juni hingga Agustus 2024, sebesar Rp1.015.300,00 per bulan atau total Rp3.045.900,00.

Pihak tergugat sempat mengajukan eksepsi, menyatakan bahwa penggugat tidak memiliki legal standing untuk menggugat.

Namun, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada PN Surabaya menolak eksepsi tersebut, mengabulkan gugatan Faridl, dan memerintahkan perusahaan membayar kekurangan upah tersebut.

Tak puas, PT Trans News Corpora mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, MA menilai perusahaan terbukti memotong upah tanpa persetujuan tertulis karyawan, meski berdalih mengalami kerugian.

Bahkan, dalam jawabannya, perusahaan mengakui pemotongan itu, tetapi tidak mampu menunjukkan bukti audit internal maupun eksternal yang membenarkan adanya kerugian, force majeure, atau kondisi hardship.

Selain itu, tidak ada bukti persetujuan dari karyawan terkait penyesuaian upah selama tiga bulan tersebut. Pemotongan itu jelas bertentangan dengan Pasal 63 PP No. 36 Tahun 2021 dan Pasal 55 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Akhirnya, Mahkamah Agung menolak kasasi PT Trans News Corpora dan menguatkan putusan PHI Surabaya: perusahaan wajib membayar kekurangan upah karyawan sebesar Rp3.045.900,00.

“Hukum melindungi hak pekerja. Pemotongan upah bukan sekadar urusan neraca keuangan perusahaan, tetapi juga menyangkut martabat dan keadilan bagi karyawan,” Putusan MA.

M. Gufron S.H. menambahkan, kasus ini harus menjadi alarm bagi buruh dan karyawan di seluruh Indonesia untuk berani bersuara jika hak mereka dirampas.

“Hukum ada untuk melindungi, bukan hanya menjadi pajangan di buku undang-undang. Selama kita punya bukti dan keberanian, keadilan bisa ditegakkan,” tegasnya.

Ia menegaskan, putusan Mahkamah Agung ini menjadi pengingat bagi seluruh perusahaan bahwa hak pekerja bukanlah ruang eksperimen manajemen.

Setiap rupiah yang tertera di slip gaji adalah hasil kerja keras dan keringat, bukan sekadar angka yang bisa diubah sesuka hati demi menambal pos kerugian yang bahkan tidak dibuktikan.

“Jadi, pesan moralnya: di dunia kerja, force majeure itu bisa dimaklumi, tapi force manajemen yang seenaknya, jelas akan tumbang di meja hijau,” pungkas H. Gufron

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *